Bukan wanita Penggoda

Petang itu, Aku terburu-buru turun dari angkutan umum. Sabtu sore itu aku memutuskan pulang ke rumah setelah beberapa hari berada di kota orang, rasanya melegakan bisa kembali bertemu dengan mama. Aku menunggu Sebuah bis berwarna biru di Stasiun. 5 menit, sepuluh menit, 20 menit, setengah jam berlalu. Akhirnya, Bis tiba. Badanku benar-benar payah, aku sangat lelah, tidur di dalam bis adalah pilihan tepat untuk saat ini.

Setibanya di Sebuah jalan yang terkenal akan perumahan elit, sekitar kurang lebih 35 menit perjalanan. Bis biru ini tiba-tiba mogok. Semua penumpang akhirnya turun sembari menunggu Bis berikutnya datang.

Aku menatap sekeliling, posisiku tepat didepan supir dan kenek yang sedang memperbaiki ban bis belakang. Aku merasa seseorang memerhatikanku sejak lama, bahkan sejak saat aku menunggu bis di stasiun tadi. Aku merasakan langkah seseorang berjalan menghampiriku. Aku sangat yakin seeseorang itu mendekat padaku, aku bisa melihatnya dari sudut mataku.

“Assalamualaikum, lagi nunggu bis?”. Aku mendengar suaranya dia bertanya padaku, aku bingung apa aku harus menjawabnya saja tanpa meliriknya, tapi bukankah itu terkesan sombong, huhh, baiklah bersikap biasa saja.
“waalaikumsalam, iya” Aku melihatnya.. aku melihatnya.. Laki-laki itu tidak salah lagi dia benar-benar orang yang sama saat di stasiun tadi. “Yuk jalan kesana, bisnya mungkin sebentar lagi datang, kalau kamu hanya berdiri disini, kamu kehabisan tempat duduk nanti”. “ooh.. ya duluan aja, aku nunggu disini aja” jawabku. Dalam pikiranku banyak pertanyaan. Siapa dia sok deket- deket? Kita tidak saling kenal harus waspada mungkin dia orang jahat? Tapi penampilannya rapi dia mengenakan setelan kantor? Ah.. apa yang aku pikirkan? Kenapa bisnya gak datang? Tapi benar juga kalau aku nunggu disini pasti nanti aku tidak dapat tempat duduk. Akhirnya aku memutuskan berjalan mengikuti arah si laki-laki tadi.

“Eh.. ternyata kamu ngikutin aku juga ya?” Tanya laki-laki itu sambil tersenyum ke arahku. “oh?.. yya!” Aku kesal siapa juga yang ngikutin dia so ke GR-an. Tak lama Bis itu tiba. Saat aku menaikinya, Lelaki itu berkata “ Hei.. Sisakan kursinya untukku”. Semua penumpang berebut tempat duduk rasanya cukup sesak, tapi mataku dengan cepat menangkap ada dua tempat duduk yang masih kosong aku segera menempatinya. Aku bahkan hanya berpikir segera duduk dan santai tiba-tiba lelaki itu duduk tepat disampingku. Kau tahu kawan ini benar-benar gugup, bahkan aku tak mengenalinya.
“Kamu dari mana?. “A.. aku pulang kuliah”. Selama perjalanan dia terus bertanya dan aku hanya menjawab seperlunya kadang-kadang hanya ‘oh’, ‘ya’ itu-itu saja jawabanku, aku lebih sering mendengarkan dia bercerita. Aku benar-benar tidak nyaman saat tiba-tiba dia terdiam. Aku mengeluarkan handphone dan hanya mengutak-atiknya mencari kesibukan sekali-kali buka media sosial. “Boleh minta nomornya?” tanyanya padaku. “Maaf, tapi aku tidak biasa memberi nomor untuk seseorang yang baru kenal”. “Oh iya tak apa-apa” sambil tersenyum.  Aku hanya memainkan handphoneku yang semakin tidak jelas mau ku apakan ini handphone, aku hanya ingin cepat-cepat turun.

Keesokan harinya

Bip.. Bip.. Pesan masuk. Aku membacanya “Hai penumpang Bis?”. Apa ini?, tanyaku dalam hati siapa dia, darimana dapat nomor teleponku?. Setelah berpikir lama. Akhirnya aku tahu sepertinya dia oang yang duduk disampingku tadi malam, dan nomor teleponku? Aku pikir dia melihatnya saat aku membuka akun media sosial dia mencarinya melalui namaku. Aku membalas pesannya dan akhirnya kita bertukar nama. Meski sebenarnya dia sudah tahu namaku bukankah ini basa-basi.

Singkatnya kami mulai sering mengirimi pesan, kami juga bertemu beberapa kali, terkadang dia mengantarku membeli buku, sebagai balasannya aku menerima tawarannya untuk menemaninya makan siang, beberapa kali kami bepergian bersama. Awalnya aku berpikir,  akan sangat menyenangkan memiliki seorang teman laki-laki, sangat fleksible diajak kesana-kemari. Tapi entahlah caranya memperlakukanku membuat aku begitu nyaman dan senang setiap bertemu dengannya. Tapi aku benar- benar tak ingin pacaran. Aku ingin menjalani hubungan yang serius, tidak main-main.

Suatu ketika, saat makan siang aku sangat ingin menanyakan sesuatu hal, aku pikir aku mulai menyukainya, aku ingin memastikan semua hal terlebih tentang dirinya. Bagiku laki-laki seperti dia mana mungkin tidak punya pacar, kalaupun dia sudah punya pacar aku akan lebih mudah mengontrol perasaanku, dan aku akan perlahan-lahan menjauhinya. “Kamu udah punya pacar? Tanyaku, “Sudah..”. Apa yang aku dengar barusan? Dia tidak ragu-ragu mengatakannya tapi aku sudah mengantisipasi kemungkinan ini. “ Kalau udah, Kok kamu bisa sih jalan sama aku? Terus pacar kamu gimana?”. “Udahlah ya kita lagi ada masalah dia ketemuan sama cowo lain di Mall, hubungan kita tidak berjalan baik”jawabnya. Aku benar-benar bingung aku sangat ingin menanyakan banyak hal, tapi situasi ini benar-benar canggung sekarang.
Aku akan pergi ke luar kota besok, ternyata dia membelikanku tiket kereta, kami pergi bersama karena dia bilang dia juga memiliki urusan di kota itu. Kami banyak menghabiskan waktu bersama hanya sekedar berbincang-bincang dan makan bersama.

Bingung. Dia mengatakan hal yang aneh tentang hubungan kita, ini terasa hubungan kita semakin serius. Dia mengatakan tentang masa depan. Dia banyak memberi harapan sehingga akhirnya perasaan yang aku miliki menjadi penuh dengan harapan. Suatu ketika di dalam mobilnya dia mengatakan. “Kali ini aku pasrah sama keputusan kamu, Apapun yang aku katakan kamu bisa memutuskannya nanti setelah aku selesai bicara”. Terdiam untuk waktu yang cukup lama. “ I was married and i have one child”.

Bagaimana ini aku merasa mataku semakin memanas, aku ingin menangis tapi untuk apa aku menangisi kesalahan yang kubuat sendiri. Kami berbicara cukup lama. Aku tidak memutuskan untuk pergi dan juga tidak memutuskan untuk tetap bertahan. Salah paham. Lelaki itu salah paham. Dia menganggap aku bisa menerima kondisinya. Sebenarnya yang aku rasakan kecewa dan ada sakit yang tak bisa dijelaskan.

Kami masih saling menghubungi seperti biasanya. Bertemu sekali-kali untuk membahas kehidupan rumah tangganya. Aku meyakinkan lelaki itu untuk kembali bersama istrinya. Aku sudah memutuskan hanya untuk menjadi teman tidak lebih. Aku mulai menjaga jarak dengannya. Sampai akhirnya tiba, si istri menghubungiku dan mencaci diriku. Percuma kujelaskan. Dia menutup telepon dengan mengatakan “Kau, Setan Wanita Berjilbab”.

Teror. Mulai berdatangan seseorang mencoba mengklaim akun media sosial milikku. Dia menyebarkan foto tak senonoh. Berbicara kasar. Hingga mengirim pesan orang itu akan merusak masa depanku.

Aku benar-benar ketakutan. Aku mencoba mengakhiri pertemanan diantara kita. Aku menceritakan mengenai teror itu. Lelaki itu hanya mencoba meyakinkanku, tentang pernikahan. Tiba-tiba dia menghilang berbulan-bulan, meski teror pesan itu semakin gencar. Lalu aku semakin dibuat bingung. Aku tidak ingin melangkah ke kehidupannya. Sudah kuputuskan.

Pukul. 03.00 WIB, lelaki itu mengirimiku sebuah gambar dengan tulisan “Aku bingung, aku harus senang karena kita berteman, atau harus sedih karena kita hanya sekedar teman”. 


Catatan:
Cerita ini diambil dari pengalaman sahabatku, dia tidak keberatan dengan mempublikasikan kisah hidupnya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran.
Mohon maaf bila masih banyak kekurangan dalam penulisan. Mohon kritik dan sarannya.
Terimakasih sudah membaca!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudahkah Jujur hari ini?

Tentang Teman di Dunia Maya

Tentang Karakter